Selasa, 26 Februari 2013

Rahasia di balik Produk china


Di saat negara kita sedang berjuang mati-matian untuk meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, di lain pihak Cina justru mengalami tekanan dari dunia agar mau mengambangkan nilai mata uangnya yang dinilai dipatok terlau rendah. Pematokan nilai yuan yang sudah dilakukan semenjak tahun 1994 ini diprotes karena dianggap sebagai penyebab utama miringnya harga produk-produk Cina di pasaran dunia (Sarnianto, 2004). Kekhawatiran tersebut memang beralasan melihat hampir dapat dikatakan produk-produk berlabel made in China medominasi pasar dunia mulai dari sekedar peniti sampai perangkat elektronika canggih.
Banyak faktor yang mendorong perekonomian Cina sehingga bisa menjadi seperti sekarang ini, dimana dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 7% setiap tahunnya telah mengantarkan Cina sebagai salah satu raksasa perekonomian dunia. Faktor nilai tukar mata uang sudah pasti bukanlah satu-satunya penyebab produk-produk negara dengan populasi terbesar di dunia ini mampu berjaya menguasai pasar dunia. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi mengingat kalau hanya faktor itu, seharusnya Indonesia juga sudah bisa mengambil mamfaat dari nilai tukar rupiah yang sangat menyedihkan.
Salah satu hal lain yang lebih penting dari itu adalah faktor apakah yang menyebabkan Cina bisa begitu produktif untuk dapat menghasilkan produk-produk berkualitas yang sangat diterima oleh pasar dunia. Negara-negara G-7 saja bahkan secara terang-terangan merangkul Cina yang saat ini menduduki peringkat keempat dalam perdagangan dunia, di bawah AS, Jerman dan Jepang untuk mau berbagi dan berbicara dalam forum mereka (Pikiran Rakyat, 2 Oktober 2004). Ternyata selain karena aliran modal asing dan teknologi tinggi, yang justru sangat menarik dari pengalaman Cina adalah besarnya peran Usaha Kecil dan Menegah (UKM) dan bisnis swasta daerah yang disebut sebagai Township and Village Enterprises (TVEs) dalam menopang kekuatan ekspornya.
Peran Penting TVEs Bagi Perekonomian Cina
Sumbangsih TVEs bagi perekonomian Cina memang tidak bisa disepelekan. TVEs yang semula merupakan perkembangan dari industri pedesaan yang digalakkan oleh pemerintah Cina. Jika pada tahun 1960 jumlahnya hanya sekitar 117 ribu, namun semenjak reformasi tahun 1978 jumlahnya mengalami pertumbuhan spektakuler menjadi 1,52 juta. Apabila dilihat dari sisi penyediaan lapangan kerja, TVEs di akhir tahun 1990-an telah menampung setengah dari tenaga kerja di pedesaan Cina.
Walaupun perkembangan TVEs ini sempat mengalami pasang surut dan tidak merata di seluruh wilayah Cina, namun secara rata-rata mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan. Produksi dari TVEs meningkat dengan rata-rata 22,9 persen pada periode 1978-1994. Secara nasional, output TVEs pada tahun 1994 mencapai 42% dari seluruh produksi nasional. Sedangkan untuk volume ekspor, TVEs memberikan kontribusi sebesar sepertiga dari volume total ekspor Cina pada tahun 1990-an (Pamuji, 2004).
Dilihat dari sisi perdagangan secara angka di atas kertas memang masih terlihat bahwa ekspor kita masih surplus dibanding Cina. Menurut data yang diperoleh dari Dubes RI di China, bahwa tepatnya sampai dengan 3 Agustus 2004 dilihat dari sudut pandang perdagangan luar negeri China, saat ini Indonesia merupakan negara tujuan ekspor urutan ke-17 dengan nilai 2,66 miliar dollar AS atau 1,03 persen dari total ekspor China yang mencapai nilai 258,21 miliar dollar AS. Indonesia juga menjadi negara asal impor ke-17 bagi China dengan nilai ekspor 3,44 miliar dollar AS (Osa, 2004).
Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan tampak bahwa barang-barang produksi Cina terlihat di mana-mana. Kita tidak menutup mata bahwa banyak produk dari negeri panda tersebut yang masuk secara ilegal ke Indonesia sehingga tidak ikut tercatat secara resmi dalam laporan tersebut. Namun penjelasan dari Ketua Umum Kadin Indonesia Komite Cina, Sharif Cicip Sutardjo sangat masuk akal. Sebagaimana dikutip dari wawancara dengan Sinar Harapan dijelaskan bahwa ekspor Indonesia ke Cina memang besar namun sebagian besar merupakan bahan mentah dengan jumlah item yang sangat sedikit, kurang lebih hanya 15 item seperti migas, CPO, karet, kayu, dan lain-lain. Sedangkan dari Cina kita mengimpor ratusan item, mulai dari ampas, hasil pertanian, peralatan sampai ke motor dan mobil. Sebagian besar perusahaan yang menghasilkan produk-produk itu semua di Cina hanyalah industri swasta, UKM atau TVEs (www.sinarharapan.co.id/ ekonomi/industri/2003/1224/ind2.html).
Kenyataan ini sungguh berkebalikan dengan keadaan UKM kita yang kurang diberdayakan padahal memiliki potensi yang sangat besar. Jumlah UKM mencakup 99 % dari total seluruh industri di Indonesia dan menyerap sekitar 56 % dari jumlah total seluruh pekerja Indonesia (Rochman, 2003). Untuk itu sangat perlu kita lihat upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah Cina untuk memajukan industri swasta khusunya UKM, mengingat UKM kita juga sebenarnya punya kemampuan. Hal ini terbukti pada saat krisis moneter justru sektor UKM yang mampu bertahan.
Usaha Pemerintah Cina yang Dirintis Sejak Lama
Apa yang sekarang Cina nikmati dari industrinya terutama TVEs merupakan hasil usaha bertahun-tahun. Pada tahun 1986 dipimpin oleh State Science and Technology Commission (SSTC) Cina memperkenalkan Torch Program yang bertujuan untuk mengembangkan penemuan-penemuan dan penelitian-penelitian oleh universitas dan lembaga riset pemerintah untuk keperluan komersialisasi. Hasil yang diperoleh kemudian ditindaklanjuti dengan membuat New Technology Enterprises (NTEs). Selanjutnya SSTC mengembangkan 52 high-tchnology zones yang serupa dengan research park di Amerika dengan bertumpu pada NTEs tadi (Mufson, 1998). Walaupun NTEs ini bersifat perusahaan bersakala besar namun kedepannya memiliki peran sebagai basis dalam pengembangan teknologi untuk industri-industri kecil dan menengah.
Pemerintah Cina kemudian masih dengan SSTC mengeluarkan kebijakan untuk mendukung TVEs yang disebut sebagai The Spark Plan. Kebijakan ini terdiri dari 3 kegiatan utama yang berangkaian. Pertama, memberikan pelatihan bagi 200.000 pemuda desa setiap tahunnya berupa satu atau dua teknik yang dapat diterapkan di daerahnya. Kegiatan kedua dilakukan dengan lembaga riset di tingkat pusat dan tingkat provinsi guna membangun peralatan teknologi yang siap pakai di pedesaan. Dan yang ketiga adalah dengan mendirikan 500 TVEs yang berkualitas sebagai pilot project (Pamuji, 2004).
Pemerintah Cina juga berusaha menempatkan diri sebagai pelayan dengan menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan oleh industri. Mulai dari hal yang paling essensial dalam memulai sebuah usaha yaitu birokrasi perizinan yang mudah dan cepat, dimana dalam sebuah artikel dikatakan bahwa untuk memulai usaha di Cina hanya membutuhkan waktu tunggu selama 40 hari, bandingkan dengan Indonesia yang membutuhkan waktu 151 hari untuk mengurus perizinan usaha (www.suaramerdeka.com/harian/0503/01/eko07.htm).
Tidak ketinggalan infrastruktur penunjang untuk memacu ekspor yang disiapkan oleh pemerintah Cina secara serius. Bila pada tahun 1978 total panjang jalan raya di Cina hanya 89.200 km, maka pada tahun 2002 meningkat tajam menjadi 170.000 km. Untuk pelabuhan, setidaknya saat ini Cina memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal berkapasitas 10.000 MT. Sementara untuk keperluan tenaga listrik pada tahun 2001 saja Cina telah mampu menyediakan sebesar 14,78 triliun kwh, dan saat ini telah dilakukan persiapan untuk membangun PLTA terbesar di dunia yang direncanakan sudah dapat digunakan pada tahun 2009 (Wangsa, 2005).
SDM Terbaik Sebagai Pengusaha
Dalam hal SDM untuk dunia usaha Cina juga tidak tanggung-tanggung dalam mengarahkan orang-orang terbaiknya untuk menjadi pengusaha yang handal. Sejak tahun 1990-an, Cina telah mengirimkan ribuan tenaga mudanya yang terbaik untuk belajar ke beberapa universitas terbaik di Amerika Serikat, seperti Harvard, Stanford, dan MIT. Di Harvard saja, Cina telah mengirimkan ribuan mahasiswanya untuk mempelajari sistem ekonomi terbuka dan kebijakan pemerintahan barat, walaupun Cina masih menerapkan sistim ekonomi yang relatif tertutup. Sebagai hasilnya, Cina saat ini telah memiliki jaringan perdagangan yang sangat mantap dengan Amerika, bahkan memperoleh status sebagai The Most Prefered Trading Partner (Kardono, 2001).
Pemerintah Cina juga membujuk para overseas Chinese scholars and professionals, terutama yang sedang dan pernah bekerja di pusat-pusat riset dan MNCs di bidang teknologi di seluruh penjuru dunia untuk mau pulang kampung dan membuka perusahaan baru di Cina. Mantan-mantan tenaga ahli dari Silicon Valley dan IBM ini misalnya, diharapkan nantinya juga akan dapat mempermudah pembukaan jaringan usaha dengan MNCs ex-employer lainnya yang tersebar di seluruh dunia (www.mail-archive.com/bhtv @paume.itb.ac.id/msg00042.html). Tentu saja bujukan itu dilakukan dengan iming-iming kemudahan dan fasilitas untuk memulai usaha, seperti insentif pajak, kemudahan dalam perizinan, dan suntikan modal.
Indonesia Harus Bisa Mengambil Pelajaran dari Cina
Kita sebaiknya bisa belajar dari kesuksesan Cina mengembangkan dunia usaha dan industrinya. Hal ini jauh lebih baik ketimbang hanya menggerutu melihat produk-produk Cina yang membanjiri pasar dalam negeri. Merajalelanya produk-produk Cina dengan harga yang murah dan berkualitas harus dilihat tidak hanya sebagai ancaman, namun juga sebagai pemicu agar Indonesia bisa bergerak ke arah perbaikan. Pada kesempatan ini penulis dengan keterbatasan kapasitas yang dimiliki akan mencoba merumuskan beberapa masukan berupa langkah yang sebaiknya kita tempuh berkaitan dengan apa yang telah dilakukan dan diraih oleh Cina.
Pertama, yaitu kita harus mencoba mengkaji kebijakan-kebijakan Cina dalam perekonomian khususnya dalam memajukan dunia usahanya. Setelah itu dirumuskan manakah yang bisa dan tepat untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini mengingat keadaan , latar belakang, dan budaya Cina yang tidak sama dengan Indonesia.
Langkah kedua yang bisa ditempuh adalah dengan mempererat hubungan kerja sama dengan Cina, tidak saja dalam ekonomi namun juga pada bidang-bidang lainnya yang dianggap penting. Dalam bidang ekonomi dan keamanan misalnya dengan membuat nota kesepahaman tentang kerjasama dalam penanganan penyelundupan di kedua negara. Bentuk kerjasama yang lain misalnya adalah dengan melakukan sinergi industri antara kedua negara. Seperti yang sudah berjalan pada industri lilin antara Indonesia dan Cina, dimana terdapat kesepakatn tidak tertulis dalam pembagian fokus industri, dengan pembagian industri hulu dan menegah yang ditangani Indonesia sedangkan hilir dipegang oleh Cina.
Ketiga, adalah dengan menciptakan budaya wirausaha di Indonesia. Hal ini bisa dilakukan dengan meniru langkah pemerintah Cina dengan kebijakan-kebijakannya dalam merangsang munculnya para pengusaha-pengusaha baru. Akan tetapi apabila dilihat lebih cermat, sebenarnya yang menjadi masalah utama di Indonesia terletak pada paradigma berpikir masyarakatnya. Di Indonesia hampir tidak ada kita kita lihat keinginan yang besar dari kalangan terdidik untuk menjadi pengusaha.
Penyebabnya bisa jadi karena malas dan takut mengambil resiko untuk berjuang dari nol apabila menjadi pengusaha. Masyarakat kita juga pada umumnya menaruh simpati yang lebih besar pada profesi-profesi yang secara praktis terlihat ekslusif, seperti dokter, akuntan, dan pengacara dibanding dengan wirausaha. Keadaan ini lebih diperburuk dengan sistem pendidikan kita yang cenderung mengabaikan pelajaran tentang kewirausahaan dan kepemimpinan. Hal ini sangat berkebalikan dengan budaya wirausaha yang sangat kental dari penduduk Cina.Langkah keempat adalah dengan memaksimalkan peran akademisi yaitu peneliti untuk menunjang dunia usaha. Selama ini diantara banyak kendala dunia usaha kita terutama UKM, yang paling besar adalah dari sisi teknologi dan metode yang tidak efisien dan jauh tertinggal dari pesaingnya di luar negeri. Untuk itu kiranya para peneliti mau turun dari menara gading untuk mau membantu penelitian industri-industri di Indonesia. Sudah saatnya penelitian yang dilakukan bisa lebih membumi sehingga dapat juga dinikmati oleh industri-industri kecil dan menengah.
Penutup
Demikianlah pembahasan yang dilakukan oleh penulis berkaitan dengan iklim usaha di Cina yang merupakan salah satu unsur utama pendorong perekonomian Cina hingga bisa menjelma menjadi raksasa perekonomian dunia. Walaupun tidak semuanya pas diterapkan di Indonesia, namun setidaknya beberapa langkah-langkah Cina yang telah terbukti berhasil tidak ada salahnya untuk diikuti dan dipraktekkan di Indonesia.
Seluruh komponen mulai dari pemerintah, akademisi, peneliti, pengusaha, dan warga masyarakat umum harus ikut serta memikirkan dan bekerja keras mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dialami negara kita tercinta ini. Setiap pihak hendaknya berusaha memberikan yang terbaik sesuai dengan bidang dan kemampuan yang dimilikinya masing-masing. Akhir kata penulis berharap tulisan yang sederhana ini dapat berguna dan bermamfaat. (MuhammadSubair)

Daftar Pustaka
  • 1. Kardono, 2001,Fokus PT. Dirgantara Indonesia Dalam Industri Penerbangan Untuk Meraih Keunggulan, Available, http://www.indonesian-aerospace.com/book/d16.htm, 23 Maret 2001
  • 2. Mufson S., 1998, In China, professor leads a high-tech revolution, Artikel Koran Washington Post, Washington ,10 Juni 1998
  • 3. Osa S., 2004, Hubungan Perdagangan China-Indonesia Pantas Dipelihara, Artikel Koran Kompas, 18 Agustus 2004
  • 4. Pamuji N., 2004, Diplomasi Cina, Indonesia dan Presiden Baru, Available, http://www.mail-archive.com/ ekonomi-nasional@yahoogroups.com/ msg00156.html, 30 September 2004
  • 5. Rochman, N. T., 2003, Memperkuat Industri Rakyat : Mendewasakan SDM Unggul, Berita IPTEK LIPI, 5 November
  • 6. Sarnianto P., 2004, Sang Naga Merah yang Kian Tak Tertahankan, Artikel Majalah Swa, Jakarta, 9 Desember 2004

1 komentar: