Selasa, 26 Februari 2013

KEBANGKITAN DAN PEMBAHARUAN ISLAM DI ASIA



BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Periode modern dalam sejarah islam bermula dari tahun 1800 M berlangsung sampai sekarang. Di awal periode ini kondisi dunia islam secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahanan abad ke-20 M, dunia bangkit memerdekaan negerinya dari penjajah barat.
            Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan kembali islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam islam. Gerakan pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal. Pertama, timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran “asing” yang masuk dan diterima sebagai ajaran islam. Kedua, pada periode barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan barat menyadarkan tokoh-tokoh islam akan ketinggalan mereka. Karena itu, mereka berusaha bangkit dengan mencontoh barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power.
            Mengingat bangkitnya Nasionalisme di dunia islam maka dalam makalah  yang berjudul “Kebangkitan dan Pembaharuan Islam di Asia kami akan membahas tentang kebangkitan dan pembaharuan Islam di Mesir, India dan Indonesia.









BAB II
PEMBAHASAN

  1. Kebangkitan dan Pembaharuan Islam di Mesir
            Mesir berada di bawah kekuasaan Ustmani yang di mulai oleh Sultan Salim tahun 1517. Tetapi setelah bertambah lemahnya kekuasaan Sultan. Sultan di abad ke-17, Mesir mulai melepaskan diri dari kekuasaan Istambul dan akhirnya menjadi daerah otonom.
            Sultan-sultan Ustmani tetap mengirim seorang Pasya Turki ke Cairo untuk bertindak sebagai wakil mereka dalam memerintah daerah ini. Tetapi karena kekuasaan sebenarnya terletak ditangan kaum Mamluk, kedudukannya di Cairo tidak lebih dari kedudukan seorang Duta Besar.
            Kaum Mamluk berasal dari budak-budak yang dibeli kaukasus, suatu daerah pergunungan yang terletak didaerah perbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka dibawa ke Istambul atau ke Cairo untuk diberi didikan militer, dan dalam dinas kemiliteran kedudukan mereka meningkat dan diantaranya ada yang dapat mencapai jabatan militer tertinggi.
            Setelah jatuhnya prestise Sultan-sultan Ustmani, mereka tidak mau lagi tunduk kepada Istambul bahkan menolak pengiriman hasil pajak yang mereka pungut dengan secara kekerasan dari rakyat Mesir ke Istambul. Kepala Mereka disebut Syaikh Al- Balad dan Syaikh inilah yang sebenarnya menjadi raja di Mesir pada  waktu itu. Karena mereka bertabiat kasar dan biasanya hanya tahu bahasa Turki dan tidak pandai berbahasa Arab, hubungan mereka dengan rakyat Mesir tidak begitu baik.[1]
            Kekuasaan orang-orang Mamluk terus meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1769. Saat itu Ali Bei seorang Mamluk kelahiran Caucasus mampu mengusir Pasya Ustmani dari Mesir dan memaklumkan dirinya bebas dari kekuasaan Ustmani. Selanjutnya Ali Bei mendapat gelar Sultan Mesir dan penguasa dua laut (laut tegah dan laut merah).[2]
            Dengan dalih menghukum penguasa-penguasa Mamluk yang sudah berlaku sewenang-wenang, Napoloeon Bonaparte mendarat di Alexandria pada tangga 2 juni 1798 dan keesokan harinya kota pelabuhan ini jatuh. Sembilan hari kemudian kota Rasyid, sebelah timur Alexandria, jatuh pula pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon sampai di bawah pyramid didekat Cairo. Pertempuran terjadi di daerah itu dan kaum mamluk lari ke Cairo, tetapi mereka tidak mendapat simpati dan sokongan rakyat sehingga terpaksa lari ke daerah Mesir sebelah selatan. Pada tanggal 22 juli Napoleon telah dapat menguasai Mesir.
            Pada tanggal 18 Agustus 1799 ia meninggalkan Mesir kembali ke tanah airnya. Ekspedisi yang di bawahnya ditinggalkan di bawah pimpinan jenderal kleber. Dalam pertempuran melawan Inggris tahun 1801 kekuatan Prancis di Mesir semakin melemah dan akhirnya mengalami kekalahan sehingga pada tanggal 31 Agustus 1801 ekspedisi ini berakhir dan Napoleon meninggalkan Mesir.
            Ekspedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk keperluan ilmiah. Institut d’egypte yang dibentuk Bonaparte mempunyai empat bagian : Bagian ilmu pasti, bagian ilmu alam, bagian ekonomi politik dan bagian sastra seni. Publikasi yang diterbitkan lembaga ini bernama la Decade Egyptiene. Disamping itu terdapat majalah La Courrier D’Egypte yang diterbitkan oleh Mart Auriel seorang pengusaha yang ikut dalam Ekspedisi Napoleon. Sebelum kedatangan ekspedisi Perancis ini Mesir tidak mengenal percetakan, majalah maupun surat kabar.
            Ekspedisi Napoleon ke Mesir setidaknya menghasilkan tiga ide baru yaitu:
1)      Sistem pemerintahan yang didalamnya kepala Negara dipilih untuk  waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh parlemen.
2)      Ide persamaan (Egalite) artinya persamaan kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam pemerintahan.
3)      Ide kebangsaan umat islam waktu itu adalah seluruh umat islam, yaitu bahwa tiap orang islam adalah saudara, mereka tidak begitu sadar akan perbedaan bangsa dan suku bangsa.

            Inilah beberapa dari ide-ide yang dibawa ekspedisi Napoleon ke Mesir ide-ide yang pada waku itu belum mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat islam di Mesir tetapi dalam perkembangan kontak dengan barat di abad ke 19 ide-ide itu makin jelas dan kemudian diterima dan dipraktekan.[3]


  1. Kebangkitan dan Pembaharuan Islam di India
            Pada abad ke 18 terjadi pertemuan panjang antara Inggris dan perancis karena berebut daerah jajahan di Asia. Hasilnya Inggris mengalahkan Perancis. Kemenangan inilah yang kemudian membelokkan tujuan Inggris di India yang semula berdagang berubah ingin menguasai. Saat itu kekuatan Mughal mulai melemah sehingga Inggris dengan mudah menundukkan satu persatu wilayah Mughal.
            Kelemahan Mughal menjadi sebab makin leluasanya Inggris memperluas wilayah jajahan pada masa pemerintahan Akbar II terjadi konsesi antara Mughal dan EIC. Inggris bebas mengembangkan usahanya dan sebagi imbalannya Inggris memberikan jaminan kehidupan Raja dan keluarga istana. Sejak itu kedudukan Raja tak ubahnya seorang pensiunan Inggris diraih pada tahun 1857 ketika kerajaan Mughal benar-benar jatuh dan rajanya yang terakhir, Bahadur Syah diusir ke rangan (1858).[4]
            Kehadiran Inggris mendapat reaksi yang beragam dari umat Islam. Ada tiga kelompok yang berbeda strategi dalam merespon imperiaslime Inggris. Pertama, kelompok yang non-kooperatif yang dipelopori oleh ulama’ tradisional deoband. Kedua, bekerja sama dengan Inggris diwakili oleh Sayyid Ahmad Khan dan ketiga, menjaga jarak dengan Inggris, yang motori oleh gerakan Aligarh yang merupakan pengikut Ahmad Khan.[5]
            Pada 1885 orang India bergabung dengan partai politik All Indian National Conggres, tujuannya adalah untuk mendapatkan kemerdekaan, baik kelompok Islam maupun non muslim dalam satu wadah. Namun, tokoh-tokoh muslim mulai berfikir kembali bahwa umat Islam India harus memiliki Negara sendiri maka, terbentuklah partai liga muslim pada 1906 di Dhaka atas prakasa Nawab Vikarul Mulk dan Sir Salimullah. Pada saat itu Muhammad Ali jinnah masih menjadi anggota inti di konggres.
            Akhirnya, pada 1913 Jinnah masuk liga muslim dan sekaligus sebagai ketua partai. Pada 1930 Iqbal menegaskan sebagai berikut. Saya ingin melihat Punjab, daerah perbatasan Utara, Sind dan Balikhistan bergabung menjadi satu Negara. Pada 1940, diadakan konfrensi (rapat tahunan liga muslim) di Lahore. Dalam, konfrensi itu disepakati untuk mendirikan Negara Islam yang terpisah dari Negara India. Ide tersebut dikemukakan oleh Sher-e- bangle A.K.M. Fazlul Haq. Akhirnya, pada 14 Agustus 1947 Pakistan memperoleh kemerdekaan dan beberapa menit kemudian kemerdekaan India diumumkan (15 Agustus 1947) pada pukul 00.01 dini hari, ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua dewan Konstitusi, satu untuk Pakistan (waktu itu terdiri dari Pakistan dan Bangladesh sekarang) dan Lainnya untuk India. Pada saat yang sama Muhammad Ali Jinnah ditunjuk sebagai kepala Negara Pakistan dengan dasar Negara adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Pakistan memiliki dua wilayah yaitu, Pakistan Barat yang terletak dibagian Timur India )sebelum akhirnya merdeka menjadi Negara Bangladesh)[6]

  1. Kebangkitan dan Pembaharuan Islam di Indonesia
            Nasionalisme dalam pengertian politik baru muncul setelah H. Samanhudi menyerahkan tampak pimpinan SDI pada bulan Mei 1991 kepada HOS Tjokroaminoto yang mengubah nama dan sifat organisasi serta memperluas ruang geraknya. Sebagai organisasi politik pelopor besar yang merekrut anggotanya dari berbagai kelas dan aliran yang ada di Indonesia. Waktu itu, Ideologi bangsa memang belum beragam, semua bertekad ingin mencapai kemerdekaan. Ideologi mereka adalah persatuan dan anti-kolonialisme.
            Banyak kalangan pergerakan yang kecewa terhadap perpecahan itu. Mereka lebih kecewa lagi, karena perpecahan itu bukan saja menunjukkan perbedaan taktik, Tetapi lebih dari itu masing-masing golongan semakin ideology islamnya. Nasionalisme yang dikembangkannya adalah nasionalisme yang berdasarkan ajaran-ajaran islam.
            Kekecewaan itu beralasan karena untuk mencapai tujuan (kemerdekaan), persatuan sangat dibutuhkan. Akan tetapi, reaksi yang muncul bukan usaha mempersatukan dua kekuatan yang bertikai. Orang-orang yang kecewa itu kemudian mendirikan kekuatan politik baru yang bebas dari komunisme dan islam, diantarnya Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, Partai Indonesia (Partindo) tahun 1931, dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) juga pada tahun 1931. Dengan demikian, pihak-pihak yang bertikai secara ideology bertambah satu kubu lagi. Mereka ini seiring disebut dengan nasionalis “sekuler” atau nasionalis “netral agama”.[7]
            Hanya disumatra barat masyarakat islam mampu memadukan antara islam dan nasionalisme yaitu melalui persatuan muslimin Indonesia (Permi), dipimpin oleh Mucthar Lutfhi yang baru menyelesaikan studinya di Kairo, Mesir. Permi adalah organisasi yang berdasarkan islam dan kebangsaan, suatu asas yang oleh beberapa pimpinan islam waktu itu dianggap tidak benar seakan-akan islam merupakan ajaran yang tidak sempurna sehingga harus dibubuhi dengan nasionalisme.[8]
            Namun demikian kondisi di atas mereka setelah di bentuk panitia sembilan yang terdiri dari Soekarno, Muhammat Hatta, Ahmad Soebarjo, A.A. Maranis dan Muhammad Yamin yang mewakili umat islam adalah Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Abi Kusna Tjokrosujoso, dan Abdul wahid Hasysim. Pada tanggal 22 juni, kesembilan wakil itu menyepakati satu program yang kita kenal dengan Piagam akarta.
            Perjuangan para wakil umat islam terhadap darat Negara belum tuntas. Pada  tanggal 11 juli 1945, beberapa anggota BPUPKI yang beragama Kristen mengexpresikan keberatan mereka akan tujuh kata itu walaupun wakil mereka di dalam panitia sembilan tidak menyanggahnya.
            Akhirnya, pada taggal 16 juli 1945 The Jakarta Charter, yang belum dirubah, itu ditandatangani oleh kesembilan wakil itu dengan mengorbankan keberatan dari pemeluk Kristiani. Kondisi ini tidak berubah sampai Negara bangsa Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka baru oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. namun demikian, kondisi itu tidak bertahan lama karena akhirnya ketujuh kota itu harus dihapus dalam dasar Negara.
            Pada tanggal 18 Agustus 1945, Muhammad Hatta mengusulkan untuk menghapus kutujuh kota itu. Para wakil umat Islam setuju untuk menghapus  ketujuh kata itu dengan syarat harus ada penggatinya. Akhirnya ketujuh kata itu diganti dengan yang Maha Esa. Perubahan itu mempunyai arti yang sangat penting bagi para wakil umat islam.[9]
            Untuk merumuskan situasi baru itu sekaligus memasyarakatkan kebijaksaan tersebut, beberapa  kalangan yang sejak  semula tidak melihat kemungkinan lain, menyelenggarakan forum-forum berkenaan dengan aspirasi politik islam. Bahkan dengan kebijaksaan  yang dimaksudkan sebagai upaya modernisasi politik bangsa itu, umat islam diuntungkan karena dapat melepaskan diri dari ikatan primodialismenya, pindah dari dunianya yang sempit ke dunia yang lebih luas. Banyak pemikir islam yang beranggapan dengan ditariknya islam dari level politik, perjuangan cultural dalam pengertian luas menjadi sangat relavan, bahkan mungkin dianggap justru lebih efektif.[10]












BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Jatuhnya mesir ke tangan barat menginsafkan dunia islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat islam bahwa di barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi islam. Raja-raja dan pemuka-pemuka islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat islam kembali.
            Negara islam yang merdeka dari penjajahan adalah Pakistan yaitu pada tanggal 15 Agustus 1947, ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua dewan Konstitusi, satu untuk India dan satu untuk Pakistan (waktu itu terdiri dari Pakistan dan Bangladesh sekarang) Presiden pertamanya adalah Ali Jinnah.
            Partai politik besar yang menentang penjajahan di Indonesia adalah  Sarekat Islam (SI), didirikan tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, partai ini merupakan  kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911. Tidak lama kemudian partai-partai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), didirikan oleh Sukarno (1927), Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru), didirikan oelah Muhammad Hatta (1931), Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) yang menjadi partai politik tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtar Luthfi.












DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung.2004. Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa Klasik Hingga Modern. LESFI ; Yogyakarta.cetakan kedua.
Karim, M.Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Pustaka Book Publisher : Yogyakarta.
Nasution, harun.1992. Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Bulan Bintang ; Jakarta.
Yatim, Badri.2008. Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Yusuf, Mundzirin dkk (ed). 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Pustaka : Yogyakarta.







[1] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Bulan Bintang : Jakarta, 1992), Hlm. 28-29.
[2] Dudung Abdurrahman, et.al, Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa Klasik Hingga Modern (LESFI ; Yogyakarta, 2004), Hlm. 299.
[3] Harun Nasution, op.cit. Hlm. 29-33
[4] Dudung Abdurrahman, op.cit., Hlm.189
[5] Ibid., Hlm.190
[6] M.Abdulkarim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Pustaka Book Publisher : Yogyakarta, 2007),Hlm.321.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II (PT.Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2008),Hlm.259-260.
[8] Ibid.,Hlm.262-263.
[9] Mundzirin Yusuf, dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Pustaka : Yogyakarta, 2006), Hlm.218-220.
[10] Badri Yatim, op.cit.,Hlm.271-272

Tidak ada komentar:

Posting Komentar