BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Periode modern dalam sejarah islam
bermula dari tahun 1800 M berlangsung sampai sekarang. Di awal periode ini
kondisi dunia islam secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru
pada pertengahanan abad ke-20 M, dunia bangkit memerdekaan negerinya dari
penjajah barat.
Periode ini memang merupakan zaman
kebangkitan kembali islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan.
Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam islam. Gerakan
pembaharuan itu paling tidak muncul karena dua hal. Pertama, timbulnya
kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran “asing” yang masuk dan
diterima sebagai ajaran islam. Kedua, pada periode barat mendominasi dunia di
bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan barat menyadarkan tokoh-tokoh
islam akan ketinggalan mereka. Karena itu, mereka berusaha bangkit dengan
mencontoh barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power.
Mengingat bangkitnya Nasionalisme di
dunia islam maka dalam makalah yang
berjudul “Kebangkitan dan Pembaharuan Islam di Asia kami akan membahas tentang
kebangkitan dan pembaharuan Islam di Mesir, India dan Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
- Kebangkitan dan Pembaharuan Islam di Mesir
Mesir berada di bawah kekuasaan
Ustmani yang di mulai oleh Sultan Salim tahun 1517. Tetapi setelah bertambah
lemahnya kekuasaan Sultan. Sultan di abad ke-17, Mesir mulai melepaskan diri
dari kekuasaan Istambul dan akhirnya menjadi daerah otonom.
Sultan-sultan Ustmani tetap mengirim
seorang Pasya Turki ke Cairo
untuk bertindak sebagai wakil mereka dalam memerintah daerah ini. Tetapi karena
kekuasaan sebenarnya terletak ditangan kaum Mamluk, kedudukannya di Cairo tidak lebih dari
kedudukan seorang Duta Besar.
Kaum Mamluk berasal dari budak-budak
yang dibeli kaukasus, suatu daerah pergunungan yang terletak didaerah
perbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka dibawa ke Istambul atau ke Cairo untuk diberi
didikan militer, dan dalam dinas kemiliteran kedudukan mereka meningkat dan
diantaranya ada yang dapat mencapai jabatan militer tertinggi.
Setelah jatuhnya prestise
Sultan-sultan Ustmani, mereka tidak mau lagi tunduk kepada Istambul bahkan
menolak pengiriman hasil pajak yang mereka pungut dengan secara kekerasan dari
rakyat Mesir ke Istambul. Kepala Mereka disebut Syaikh Al- Balad dan Syaikh
inilah yang sebenarnya menjadi raja di Mesir pada waktu itu. Karena mereka bertabiat kasar dan
biasanya hanya tahu bahasa Turki dan tidak pandai berbahasa Arab, hubungan
mereka dengan rakyat Mesir tidak begitu baik.[1]
Kekuasaan orang-orang Mamluk terus
meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1769. Saat itu Ali Bei seorang
Mamluk kelahiran Caucasus mampu mengusir Pasya
Ustmani dari Mesir dan memaklumkan dirinya bebas dari kekuasaan Ustmani. Selanjutnya
Ali Bei mendapat gelar Sultan Mesir dan penguasa dua laut (laut tegah dan laut
merah).[2]
Dengan dalih menghukum
penguasa-penguasa Mamluk yang sudah berlaku sewenang-wenang, Napoloeon
Bonaparte mendarat di Alexandria pada tangga 2 juni 1798 dan keesokan harinya
kota pelabuhan ini jatuh. Sembilan hari kemudian kota Rasyid, sebelah timur
Alexandria, jatuh pula pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon sampai di bawah
pyramid didekat Cairo. Pertempuran terjadi di daerah itu dan kaum mamluk lari
ke Cairo,
tetapi mereka tidak mendapat simpati dan sokongan rakyat sehingga terpaksa lari
ke daerah Mesir sebelah selatan. Pada tanggal 22 juli Napoleon telah dapat
menguasai Mesir.
Pada tanggal 18 Agustus 1799 ia
meninggalkan Mesir kembali ke tanah airnya. Ekspedisi yang di bawahnya
ditinggalkan di bawah pimpinan jenderal kleber. Dalam pertempuran melawan
Inggris tahun 1801 kekuatan Prancis di Mesir semakin melemah dan akhirnya
mengalami kekalahan sehingga pada tanggal 31 Agustus 1801 ekspedisi ini
berakhir dan Napoleon meninggalkan Mesir.
Ekspedisi itu datang bukan hanya
untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk keperluan ilmiah. Institut
d’egypte yang dibentuk Bonaparte mempunyai empat bagian : Bagian ilmu pasti,
bagian ilmu alam, bagian ekonomi politik dan bagian sastra seni. Publikasi yang
diterbitkan lembaga ini bernama la Decade
Egyptiene. Disamping itu terdapat majalah La Courrier D’Egypte yang
diterbitkan oleh Mart Auriel seorang pengusaha yang ikut dalam Ekspedisi
Napoleon. Sebelum kedatangan ekspedisi Perancis ini Mesir tidak mengenal
percetakan, majalah maupun surat
kabar.
Ekspedisi Napoleon ke Mesir
setidaknya menghasilkan tiga ide baru yaitu:
1)
Sistem pemerintahan yang
didalamnya kepala Negara dipilih untuk
waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh
parlemen.
2)
Ide persamaan (Egalite) artinya persamaan kedudukan dan turut sertanya rakyat
dalam pemerintahan.
3)
Ide kebangsaan umat islam waktu
itu adalah seluruh umat islam, yaitu bahwa tiap orang islam adalah saudara,
mereka tidak begitu sadar akan perbedaan bangsa dan suku bangsa.
Inilah beberapa dari ide-ide yang
dibawa ekspedisi Napoleon ke Mesir ide-ide yang pada waku itu belum mempunyai
pengaruh yang nyata bagi umat islam di Mesir tetapi dalam perkembangan kontak
dengan barat di abad ke 19 ide-ide itu makin jelas dan kemudian diterima dan
dipraktekan.[3]
- Kebangkitan dan Pembaharuan Islam di India
Pada abad ke 18 terjadi pertemuan
panjang antara Inggris dan perancis karena berebut daerah jajahan di Asia. Hasilnya Inggris mengalahkan Perancis. Kemenangan
inilah yang kemudian membelokkan tujuan Inggris di India yang semula berdagang
berubah ingin menguasai. Saat itu kekuatan Mughal mulai melemah sehingga
Inggris dengan mudah menundukkan satu persatu wilayah Mughal.
Kelemahan Mughal menjadi sebab makin
leluasanya Inggris memperluas wilayah jajahan pada masa pemerintahan Akbar II
terjadi konsesi antara Mughal dan EIC. Inggris bebas mengembangkan usahanya dan
sebagi imbalannya Inggris memberikan jaminan kehidupan Raja dan keluarga
istana. Sejak itu kedudukan Raja tak ubahnya seorang pensiunan Inggris diraih
pada tahun 1857 ketika kerajaan Mughal benar-benar jatuh dan rajanya yang terakhir,
Bahadur Syah diusir ke rangan (1858).[4]
Kehadiran Inggris mendapat reaksi
yang beragam dari umat Islam. Ada
tiga kelompok yang berbeda strategi dalam merespon imperiaslime Inggris.
Pertama, kelompok yang non-kooperatif yang dipelopori oleh ulama’ tradisional
deoband. Kedua, bekerja sama dengan Inggris diwakili oleh Sayyid Ahmad Khan dan
ketiga, menjaga jarak dengan Inggris, yang motori oleh gerakan Aligarh yang merupakan
pengikut Ahmad Khan.[5]
Pada 1885 orang India bergabung
dengan partai politik All Indian National Conggres, tujuannya adalah untuk
mendapatkan kemerdekaan, baik kelompok Islam maupun non muslim dalam satu
wadah. Namun, tokoh-tokoh muslim mulai berfikir kembali bahwa umat Islam India
harus memiliki Negara sendiri maka, terbentuklah partai liga muslim pada 1906
di Dhaka atas prakasa Nawab Vikarul Mulk dan Sir Salimullah. Pada saat itu
Muhammad Ali jinnah masih menjadi anggota inti di konggres.
Akhirnya, pada 1913 Jinnah masuk
liga muslim dan sekaligus sebagai ketua partai. Pada 1930 Iqbal menegaskan sebagai
berikut. Saya ingin melihat Punjab, daerah perbatasan Utara, Sind
dan Balikhistan bergabung menjadi satu Negara. Pada 1940, diadakan konfrensi
(rapat tahunan liga muslim) di Lahore. Dalam, konfrensi itu disepakati untuk
mendirikan Negara Islam yang terpisah dari Negara India. Ide tersebut dikemukakan oleh
Sher-e- bangle A.K.M. Fazlul Haq. Akhirnya, pada 14 Agustus 1947 Pakistan
memperoleh kemerdekaan dan beberapa menit kemudian kemerdekaan India diumumkan
(15 Agustus 1947) pada pukul 00.01 dini hari, ketika Inggris menyerahkan
kedaulatannya di India kepada dua dewan Konstitusi, satu untuk Pakistan (waktu
itu terdiri dari Pakistan dan Bangladesh sekarang) dan Lainnya untuk India.
Pada saat yang sama Muhammad Ali Jinnah ditunjuk sebagai kepala Negara Pakistan
dengan dasar Negara adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Pakistan
memiliki dua wilayah yaitu, Pakistan Barat yang terletak dibagian Timur India )sebelum akhirnya merdeka menjadi Negara Bangladesh)[6]
- Kebangkitan dan Pembaharuan Islam di Indonesia
Nasionalisme dalam pengertian
politik baru muncul setelah H. Samanhudi menyerahkan tampak pimpinan SDI pada
bulan Mei 1991 kepada HOS Tjokroaminoto yang mengubah nama dan sifat organisasi
serta memperluas ruang geraknya. Sebagai organisasi politik pelopor besar yang
merekrut anggotanya dari berbagai kelas dan aliran yang ada di Indonesia.
Waktu itu, Ideologi bangsa memang belum beragam, semua bertekad ingin mencapai
kemerdekaan. Ideologi mereka adalah persatuan dan anti-kolonialisme.
Banyak kalangan pergerakan yang
kecewa terhadap perpecahan itu. Mereka lebih kecewa lagi, karena perpecahan itu
bukan saja menunjukkan perbedaan taktik, Tetapi lebih dari itu masing-masing
golongan semakin ideology islamnya. Nasionalisme yang dikembangkannya adalah
nasionalisme yang berdasarkan ajaran-ajaran islam.
Kekecewaan itu beralasan karena
untuk mencapai tujuan (kemerdekaan), persatuan sangat dibutuhkan. Akan tetapi,
reaksi yang muncul bukan usaha mempersatukan dua kekuatan yang bertikai.
Orang-orang yang kecewa itu kemudian mendirikan kekuatan politik baru yang
bebas dari komunisme dan islam, diantarnya Partai Nasional Indonesia (PNI)
tahun 1927, Partai Indonesia
(Partindo) tahun 1931, dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) juga pada
tahun 1931. Dengan demikian, pihak-pihak yang bertikai secara ideology
bertambah satu kubu lagi. Mereka ini seiring disebut dengan nasionalis
“sekuler” atau nasionalis “netral agama”.[7]
Hanya disumatra barat masyarakat
islam mampu memadukan antara islam dan nasionalisme yaitu melalui persatuan
muslimin Indonesia
(Permi), dipimpin oleh Mucthar Lutfhi yang baru menyelesaikan studinya di
Kairo, Mesir. Permi adalah organisasi yang berdasarkan islam dan kebangsaan,
suatu asas yang oleh beberapa pimpinan islam waktu itu dianggap tidak benar
seakan-akan islam merupakan ajaran yang tidak sempurna sehingga harus dibubuhi
dengan nasionalisme.[8]
Namun demikian kondisi di atas
mereka setelah di bentuk panitia sembilan yang terdiri dari Soekarno, Muhammat
Hatta, Ahmad Soebarjo, A.A. Maranis dan Muhammad Yamin yang mewakili umat islam
adalah Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Abi Kusna Tjokrosujoso, dan Abdul
wahid Hasysim. Pada tanggal 22 juni, kesembilan wakil itu menyepakati satu
program yang kita kenal dengan Piagam akarta.
Perjuangan para wakil umat islam
terhadap darat Negara belum tuntas. Pada
tanggal 11 juli 1945, beberapa anggota BPUPKI yang beragama Kristen mengexpresikan
keberatan mereka akan tujuh kata itu walaupun wakil mereka di dalam panitia
sembilan tidak menyanggahnya.
Akhirnya, pada taggal 16 juli 1945
The Jakarta Charter, yang belum dirubah, itu ditandatangani oleh kesembilan
wakil itu dengan mengorbankan keberatan dari pemeluk Kristiani. Kondisi ini
tidak berubah sampai Negara bangsa Indonesia diproklamasikan sebagai negara
merdeka baru oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. namun demikian,
kondisi itu tidak bertahan lama karena akhirnya ketujuh kota itu harus dihapus dalam dasar Negara.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Muhammad
Hatta mengusulkan untuk menghapus kutujuh kota
itu. Para wakil umat Islam setuju untuk
menghapus ketujuh kata itu dengan syarat
harus ada penggatinya. Akhirnya ketujuh kata itu diganti dengan yang Maha Esa.
Perubahan itu mempunyai arti yang sangat penting bagi para wakil umat islam.[9]
Untuk merumuskan situasi baru itu
sekaligus memasyarakatkan kebijaksaan tersebut, beberapa kalangan yang sejak semula tidak melihat kemungkinan lain,
menyelenggarakan forum-forum berkenaan dengan aspirasi politik islam. Bahkan
dengan kebijaksaan yang dimaksudkan
sebagai upaya modernisasi politik bangsa itu, umat islam diuntungkan karena
dapat melepaskan diri dari ikatan primodialismenya, pindah dari dunianya yang
sempit ke dunia yang lebih luas. Banyak pemikir islam yang beranggapan dengan ditariknya
islam dari level politik, perjuangan cultural dalam pengertian luas menjadi
sangat relavan, bahkan mungkin dianggap justru lebih efektif.[10]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jatuhnya mesir ke tangan barat
menginsafkan dunia islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat islam bahwa di
barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi
islam. Raja-raja dan pemuka-pemuka islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan
mutu dan kekuatan umat islam kembali.
Negara islam yang merdeka dari
penjajahan adalah Pakistan yaitu pada tanggal 15 Agustus 1947, ketika Inggris
menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua dewan Konstitusi, satu untuk
India dan satu untuk Pakistan (waktu itu terdiri dari Pakistan dan Bangladesh
sekarang) Presiden pertamanya adalah Ali Jinnah.
Partai politik besar yang menentang
penjajahan di Indonesia adalah Sarekat
Islam (SI), didirikan tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, partai
ini merupakan kelanjutan dari Sarekat
Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911. Tidak lama kemudian
partai-partai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional Indonesia (PNI),
didirikan oleh Sukarno (1927), Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru),
didirikan oelah Muhammad Hatta (1931), Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI)
yang menjadi partai politik tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtar Luthfi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung.2004. Sejarah Peradaban Islam : Dari Masa Klasik Hingga Modern. LESFI ;
Yogyakarta.cetakan kedua.
Karim, M.Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Pustaka Book Publisher : Yogyakarta.
Nasution, harun.1992. Pembaharuan Dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Bulan
Bintang ; Jakarta.
Yatim, Badri.2008. Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II. PT. Raja Grafindo
Persada : Jakarta.
Yusuf, Mundzirin dkk (ed). 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Pustaka : Yogyakarta.
[1] Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam :
Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Bulan Bintang : Jakarta, 1992), Hlm. 28-29.
[2] Dudung
Abdurrahman, et.al, Sejarah Peradaban
Islam : Dari Masa Klasik Hingga Modern (LESFI ; Yogyakarta,
2004), Hlm. 299.
[3] Harun
Nasution, op.cit. Hlm. 29-33
[4] Dudung
Abdurrahman, op.cit., Hlm.189
[5] Ibid., Hlm.190
[6] M.Abdulkarim,
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
(Pustaka Book Publisher : Yogyakarta,
2007),Hlm.321.
[7] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah
Islamiyah II (PT.Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2008),Hlm.259-260.
[8] Ibid.,Hlm.262-263.
[9] Mundzirin
Yusuf, dkk. Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia (Pustaka : Yogyakarta, 2006),
Hlm.218-220.
[10] Badri
Yatim, op.cit.,Hlm.271-272
Tidak ada komentar:
Posting Komentar