BAB I
A.
PENDAHULUAN
Alhamdulillahirobbil ‘alamin, puji syukur kita
lantunkan kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat kepada kita
berupa Iman dan Islam sehingga kita bisa menyelesaikan tugas ini walaupun masih
banyak kekurangan didalamnya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang membimbing kita dari kebodohan
menuju tata syari’at yang indah dengan penuh rasa cinta, sehingga kita bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
B.
PEMBAHASAN
a.
Hadist tentang Adab 1474-1482
b.
Hadits tentang KEBAIKAN DAN SILATURRAHMI 1483-1488
BAB
II
HADITS TENTANG ADAB
Mengucapkan salam sama dengan mengucapkan do'a
atau permohonan kebaikan kepada orang yang kita ucapi salam. Kita memohon dan
berharap semoga keselamatan tercurah limpah kepada orang yang kita maksudkan.
Bukankah itu perbuatan mulia dan baik? tentu saja. Namun sebuah hukum ibadah
tidak bisa hanya diukur oleh kepantasan dan kebaikan semata, tapi juga harus
dilandasi oleh masalah benar dan tidaknya menurut agama.
َوَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يُجْزِئُ عَنْ اَلْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوا
أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ, وَيُجْزِئُ عَنْ اَلْجَمَاعَةِ أَنْ يَرُدَّ
أَحَدُهُمْ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالْبَيْهَقِيُّ
Hadits No. 1474
Dari Ali Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam bersabda: “Cukuplah bagi sekelompok orang berjalan untuk
mengucapkan salam salah seorang di antara mereka dan cukuplah bagi sekelompok
orang lainnya menjawab salam salah seorang di antara mereka.” Riwayat Ahmad dan
Baihaqi.
Keterangan
:
Ada
Beberapa Aturan Dalam Mengucapkan Salam, di antaranya sebagai berikut:
Salam tidak bisa diucapkan kepada sembarang
orang. Karena ternyata, terhadap non Muslim ucapan ini dilarang. Hal ini
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
dalam hadits yang diceritakan Oleh Shahabat 'Ali radhiyallahu 'anhu:
َوَعَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَبْدَؤُوا اَلْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى بِالسَّلَامِ, وَإِذَا لَقَيْتُمُوهُمْ فِي طَرِيقٍ,
فَاضْطَرُّوهُمْ إِلَى أَضْيَقِهِ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Hadits No. 1475
Dari Ali Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah mendahului orang Yahudi dan Nasrani
dengan ucapan salam, bila bertemu dengan mereka di sebuah jalan usahakanlah
mereka mendapat jalan yang paling sempit.” Riwayat Muslim.
Keterangan:
Sebagian besar Ulama’
berpendapat bahwa mendahului
orang Yahudi dan Nasrani dengan ucapan salam itu haram. Karena dalam
hadits tersebut menunjukkan suatu larangan, sedangkan larangan menunjukkan
suatu keharaman. Dan diceritakan dari sebagian pengikut Syafi’iyah bahwa boleh
memulai salam kepada mereka tetapi diringkas hanya berupa “assalamu alaikum” .
Al Qodli Iyadh menceritakan dari Jamaah yaitu memperbolehkannya tetapi karena
dlorurot.
Dan apabila seorang
kafir dzimmi mendahului salam kepada seorang muslim maka dijelaskan dalam
shohih Bukhari Muslim dari Anas dalam hadits marfu’ “ketika ahlul kitab
mengatakan salam padamu maka jawablah waalaikum”. Dan dalam shohih Bukhori dari
Ibnu Umar “ sesungguhnya Rosulullah SAW bersabda: “ketika orang yahudi
megatakan salam padamu dengan ucapan assaamu alaikum maka jawablah wa alaika”.
Dalam berita hadits yang diwartakan oleh Shahabat Abu
Hurairah ra., Rasulullah telah bersabda:
وَعَنْ اَلنَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: اَلْحَمْدُ
لِلَّهِ, وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ يَرْحَمُكَ اَللَّهُ, فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ
اَللَّهُ, فَلْيَقُلْ يَهْدِيكُمُ اَللَّهُ, وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ )
أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ
Hadits No. 1476
Dari Ali Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah
mengucapkan alhamdulillah, dan hendaknya saudaranya mengucapkan untuknya
yarhamukallah. Apabila ia mengucapkan kepadanya yarhamukallah, hendaklah ia
(orang yang bersin) mengucapkan yahdii kumullah wa yushlihu balaakum (artinya =
Mudah-mudahan Allah memberikan petunjuk dan memperbaiki hatimu).” Riwayat
Bukhari.
Keterangan :
Ahmad Hassan (A. Hassan) menjelaskan sekaligus menyimpulkan
hadits barusan sebagai berikut:
Arti istilah Haq yang dipakai dalam hadits-hadits, maKsud asalnya ialah tuntutan, atau suatu kepatutan. Dengan demikian kalimat haq bisa difahami dengan makna wajib, Sunnah, baik, patut, pantas, dan sebagainya, karena memang semua itu masih dalam kategori "yang dituntut".
Arti istilah Haq yang dipakai dalam hadits-hadits, maKsud asalnya ialah tuntutan, atau suatu kepatutan. Dengan demikian kalimat haq bisa difahami dengan makna wajib, Sunnah, baik, patut, pantas, dan sebagainya, karena memang semua itu masih dalam kategori "yang dituntut".
Jika dalam persoalan menjawab ucapan
salam para ulama telah sepakat terhadap hukum kewajibannya, maka dalam
persoalan memulai ucapan salam sendiri, Tidak ada satu kesepakatan yang
memutuskan bahwa membuka/memulai ucapan salam itu wajib.[1]
َوَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم ( لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا )
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Hadits No. 1477
Dari Ali Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian minum
sambil berdiri.” Riwayat Muslim.
Keterangan:
Hadits tersebut
menerangkan bahwa secara asal haram minum dengan berdiri. Dan ini adalah yang
dipilih oleh Ibnu Hazm. Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa itu masih khilaf
sedangkan yang lain berpendapat bahwa hukumnya makruh. Mereka mengalihkan hokum
tersebut pada hadits yang shohih Muslim di riwayatkan dari Ibnu Abbas :”aku
member minum Rosul SAW maka beliau minum sambil berdiri”, dan di dalam shohih
Bukhori :” sesungguhnya Ali minum sambil berdiri, dan ia berkata: “ aku melihat
Rosul SAW melakukan seperti yang kau lihat terhadap apa aku lakukan”. Jadi
hadis yang berupa larangan ini menunjukkan tidak haramnya minum sambil berdiri.
َوَعَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا اِنْتَعَلَ أَحَدُكُمْ
فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِينِ, وَإِذَا نَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ, وَلْتَكُنْ
اَلْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا تُنْعَلُ, وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ )
Hadits No. 1478
Dari Ali Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila seseorang di antara kalian memakai sandal,
hendaknya ia mendahulukan kaki kanan, dan apabila melepas, hendaknya ia
mendahulukan kaki kiri, jadi kaki kananlah yang pertama kali memakai sandal dan
terakhir melepaskannya.” Muttafaq Alaihi
Keterangan:
Dzahirnya perintah
menunjukkan pada suatu kewajiban. Namun al Qodli Iyadl berpendapat bahwa itu
hukumnya sunah sesuai dengan ijma’. Ibnu Arobi berkata : memulai dari arah
kanan terhadap segala sesuatu yang baik itu di syari’atkan, karena secara fisik
kanan itu lebih kuat dan secara syariat disunnahkan untuk memulainya.
َوَعَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَمْشِ أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ
وَاحِدَةٍ, وَلْيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا, أَوْ لِيَخْلَعْهُمَا جَمِيعًا )
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِمَا
Hadits No. 1479
Dari Ali Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda: “Janganlah seseorang di antara kalian berjalan dengan satu
sandal, dan hendaklah ia memakai keduanya atau melepas keduanya.” Muttafaq
Alaihi.
Keterangan:
Dhahir suatu larangan
dalam hadits tersebut menunjukkan suatu keharaman. Sedangkan Jumhur Ulama’
berpendapat hukumnya hanya sekedar makruh. Mereka menjadikan hujjah hadits
Turmudzi dari Aisah berkata: “ketika sandal Rosul terputus maka beliau berjalan
dengan satu sandal hingga beliau memperbaikinya”
Dan terjadi khilaf
terhadap ilatnya suatu larangan tersebut. Sebagian berpendapat bahwa ilatnya
adalah agar kaki terlindung dari duri dan lain sebagainya. Dikatakan juga bahwa
yang demikian itu adalah cara berjalannya setan.
َوَعَنْ اِبْنِ
عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم ( لَا يَنْظُرُ اَللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ )
مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Hadits No. 1480
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Allah tidak akan melihat orang yang
menjuntai pakaiannya terseret dengan sombong.” Muttafaq Alaihi.
Keterangan:
Maksud dari Alloh
tidak akan melihat orang tersebut yaitu Allah tidak mengalirkan rahmatnya. Yang
mana ini juga berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Dan hokum memakai pakaian
yang terseret dengan sombong hukumnya adalah haram namun apabila tidak ada
kesombongan maka hukumnya makruh.
وَعَنْهُ أَنَّ
رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ
فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ, وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ, فَإِنَّ
اَلشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ, وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Hadits No. 1481
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila seseorang di antara kalian
makan hendaknya ia makan dengan tangan kanan dan minum hendaknya ia minum
dengan tangan kanan, karena sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kirinya
dan minum dengan tangan kirinya.” Riwayat Muslim.
Keterangan:
Hadits tersebut
menunjukkan larangan makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri karena yang
demikian itu adalah cara makan dan minum setan, sedangkan orang islam
diperintahkan untuk menjahui jalan orang fasik terutama perbuatan yang
dilakukan setan. Kemudian Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa makan dan minum
memakai tangan kanan hukumnya sunah tidak sampai haram apabila menggunakan
tangan kiri.
َوَعَنْ عَمْرِو
بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى
الله عليه وسلم ( كُلْ, وَاشْرَبْ, وَالْبَسْ, وَتَصَدَّقْ فِي غَيْرِ سَرَفٍ,
وَلَا مَخِيلَةٍ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَأَحْمَدُ, وَعَلَّقَهُ
اَلْبُخَارِيُّ
Hadits No. 1482
Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya,
Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan
sikap sombong.” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Hadits mu’allaq menurut Bukhari.
Keterangan:
Hadits tersebut
menjelaskan haramnya berlebihan didalam makan, minum, dan sedekah. Dan
hakikatnya israf adalah melewati batas di tiap-tiap perkataan maupun perbuatan.
Ibnu Abdil Latif Al Baghdady berkata bahwa berlebihan itu membahayakan dirinya
baik fisiknya maupun kehidupannya.
BAB III
HADIST KEBAIKAN DAN
SILATURRAHIM
Dari Anas
bin Malik radhiallahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ أََحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ
عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ, فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيّ
Hadits No. 1483
Dari Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya,
hendaknya ia menghubungkan tali kekerabatan." Riwayat Bukhari.
َوَعَنْ
جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم ( لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ ) يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits No. 1484
Dari Jubair Ibnu Muth'im Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan masuk
surga seorang pemutus, yaitu pemutus tali kekerabatan." Muttafaq Alaihi.
Penjelasan ringkas 1483-1484 :
Islam
menganjurkan untuk menyambung hubungan dan bersatu serta mengharamkan pemutusan
hubungan, saling menjauhi, dan semua perkara yang menyebabkan lahirnya
perpecahan. Karenanya Islam menganjurkan untuk menyambung silaturahim dan
memperingatkan agar jangan sampai ada seorang muslim yang memutuskannya. Dan
Nabi shalllallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa bukanlah dikatakan
menyambung silaturahmi ketika seorang membalas kebaikan orang yang berbuat
kebaikan kepadanya, yakni menyambung hubungan dengan orang yang senang
kepadanya. Akan tetapi yang menjadi hakikat menyambung silaturahmi adalah
ketika dia membalas kebaikan orang yang berbuat jelek kepadanya atau menyambung
hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan dengannya.
Nabi
shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa balasan disesuaikan dengan jenis
amalan. Karenanya, barangsiapa yang menyambung hubungan silaturahminya maka
Allah juga akan menyambung hubungan dengannya, dan di antara bentuk Allah
menyambungnya adalah Allah akan menambah rezekinya, menambah umurnya, dan
senantiasa memberikan pertolongan kepadanya.
Sebaliknya,
siapa saja yang memutuskan hubungan silaturahimnya maka Allah juga akan
memutuskan hubungan dengannya. Dan ketika Allah sudah memutuskan hubungan
dengannya maka Allah tidak akan perduli lagi dengannya, Allah akan
menjadikannya buta dan tuli, dan menimpakan laknat kepadanya. Dan siapa yang
mendapatkan laknat maka sungguh dia telah dijauhkan dari kebaikan dan rahmat
Allah Ta’ala yang Maha Luas.
َوَعَنْ
اَلْمُغِيرَةِ بْنِ سَعِيدٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم قَالَ: ( إِنَّ اَللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ اَلْأُمَّهَاتِ,
وَوَأْدَ اَلْبَنَاتِ, وَمَنْعًا وَهَاتِ, وَكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ,
وَكَثْرَةَ اَلسُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ اَلْمَالِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Hadits
No. 1485
Dari al-Mughirah Ibnu Syu'bah bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah mengharamkan
kalian durhaka kepada ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menahan dan
menuntut; dan Dia tidak suka kalian banyak bicara, banyak bertanya, dan
menghambur-hamburkan harta." Muttafaq Alaihi.
وَعَنْ
عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم قَالَ: ( رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ
فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ ) أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ
اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
Hadits No 1486
Dari Abdullah Ibnu Amar al-'Ash Radliyallaahu 'anhu
bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Keridloan Allah
tergantung kepada keridloan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada
kemurkaan orang tua." Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban
dan Hakim.
Keterangan :
Hendaknya seseorang membuat kedua orang tua ridha
dengan berbuat baik kepada para saudara, karib sahabat, teman-teman, dan selain
mereka. Yakni, dengan memuliakan mereka, menyambung tali silaturrahim dengan
mereka, menunaikan janji-janji (orang tua) kepada mereka. Akan disebutkan nanti
beberapa hadits yang berkaitan dengan masalah ini. Apabila
kedua orang tua bersumpah kepada anaknya untuk suatu perkara tertentu yang
didalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak untuk
memenuhi sumpah keduanya karena itu termasuk hak mereka.
َوَعَنْ أَنَسٍ
رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( وَاَلَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ - أَوْ لِأَخِيهِ- مَا
يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits No 1487
Dari Anas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Demi Tuha yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang
hamba (dikatakan) beriman sehingga ia mencintai tetangganya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri." Muttafaq Alaihi.
Keterangan :
Hadis di atas menegaskan bahwa di antara ciri
kesempurnaan iman seseorang adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti
mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk di dalam
rasa bahagia jika melihat sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang ia
senangi, dan tidak senang jika sesamanya muslim mendapat kesulitan dan musibah
yang ia sendiri membencinya. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadis di atas
menunjukkan kurang atau lemahnya tingkat keimanan seseorang.
Hadis di atas tidaklah berarti bahwa seorang mu’min
yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya berarti tidak beriman
sama sekali. Pernyataan ُ أَحَدُكُمْ يُؤْمِنَ لا pada hadis di atas mengandung makna “tidak
sempurna keimanan seseorang” jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai
dirinya sendiri. Jadi, harf nafi لا pada hadis tersebut bermakna ketidaksempurnaan buka
ketidakberimanan.
Prinsip tersebut mengantar kita untuk ikut merasakan
apa yang dirasakan oleh saudara sesama muslim yang dalam hadis lain diibaratkan
sebagai satu bangunan.
َوَعَنْ اِبْنِ
مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَيُّ
اَلذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: ( أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ
نِدًّا, وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: ثُمَّ
أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟
قَالَ: ثُمَّ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits No 1488
Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku bertanya
kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, dosa apakah yang paling
besar?. Beliau menjawab: Engkau membuat sekutu bagi Allah, padahal Dia-lah yang
menciptakanmu." Aku bertanya lagi: Kemudian apa?. Beliau menjawab:
"Engkau membunuh anakmu karena takut ia akan makan bersamamu." Aku
bertanya lagi: Kemudian apa?. Beliau bersabda: "Engkau berzina dengan
istri tetanggamu." Muttafaq Alaihi.
Keterangan
Melakukan sebuah khilaf yang kita sendiri sadar dan tahu
bahwa itu adalah kesalahan yang harus diperbaiki dan tidak boleh dilakukan,
bisa dipastikan, cepat ataupun lambat, suatu waktu orang itu akan berubah dan
memperbaikinya. Namun bagaimana jadinya jika perbuatan yang pada hakikat
nilainya adalah kesalahan, sementara orang yang melakukannya tidak merasa dan
tidak tahu bahwa perbuatan itu adalah kesalahan? Tentu sepanjang kesadaran dan
pandangannya terhadap perbuatan itu belum tersadarkan, maka sepanjang itu pula
ia akan terus mengerjakannya tanpa ada rasa bersalah dan tidak akan merasa
butuh untuk mengerjakan perbaikannya.
Pada suatu saat Rasulullah bersabda di depan para
shahabatnya, "minal kabaairi syatmu al-rajuli waalidihi = Termasuk dosa
besar seseorang yang memaki ibu bapaknya!". Para shahabat waktu itu seakan
bingung sebab sepertinya dengan tidak dibicarakanpun, memaki kedua orang tua
sendiri itu memang secara pandangan umumpun adalah durhaka, dosa besar. Tapi
para shahabat lebih jeli lagi. mungkin dalam benak mereka kemudian terpikir,
Apakah mungkin akan ada seorang anak yang tega mencaci maki orang tuanya
sendiri, padahal biasanya seorang anak selalu akan membela orang tuanya
meskipun orang tuanya dalam posisi salah?. Para shahabat pun mempertanyakan
persoalan itu; " wa hal yasubbu ar-rajulu waalidihi? = apakah ada orang
yang berani memaki ibu bapanya sendiri?" Rasulullah menjawab:
"Ada!" "yasubbu aba ar-rajuli fayasubbu ar-rajulu abahu, wa
yasubbu ummahu fayasubbu ummahu = ia itu adalah seseorang yang memaki ayah
seseorang kemudian seseorang itu balik memaki ayahnya, kemudian seseorang itu
memaki pula ibu seseorang yang seseorang itu balik memaki pula ibunya
Daftar Pustaka
·
Referensi tambahan : Shahiih Muslim (IV/1974) dan
halaman setelahnya, Fa-thul Baari (X/414) dan halaman setelahnya. Al Ihsaan bi
Tartiibi Ibni Hibban (I/315) dan halaman setelahnya, al Aadaab karya al Baihaqi
(hal.5) dan halaman setelahnya, al Aadaab asy Syar’iyyah karya Ibnu Muflih
(I/433) dan halaman setelahnya, Ihya ‘Uluumuddin karya al Ghazali (II/216) dan
halaman setelahnya, Birrul Waalidain karya ath Thurthusi.
·
“Bulughul Maram
min Adilatil Ahkam”, Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalany.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar